Rasatakut akan penolakan bisa mencegah Anda melanjutkan hidup dan mencoba hal-hal baru. Untungnya ada beberapa cara yang bisa Anda lakukan untuk menghadapi penolakan dan membangun kepercayaan diri agar Anda tidak takut akan penolakan lagi, alih-alih melihat penolakan sebagai sebuah peluang. Langkah. Setiaporang memiliki nilai yang berbeda mengenai kesenangan dan kebahagiaan, dan Anda tidak bisa menyamakan semua itu. Anda tidak akan pernah bisa memuaskan semua orang. 2. Keluar dari zona nyaman. Sebagian orang merasa nyaman dengan sikap ingin menyenangkan orang lain. Namun, persoalannya, kenyamanan itu dapat menghalangi pertumbuhan pribadi Orangorang Banda yang luput dari kekejaman J.P. Coen dan terpaksa meninggalkan kampung halamannya diterima dengan baik dan dibantu oleh orang-orang Makasar. Orang-orang Banda ini sangat benci dan tidak mungkin melupakan tindakan J.P. Coen yang sangat kejam terhadap orang-orang Banda. Pada tanggal 11 Maret 1621 ratap tangis meliputi pulau Banda. Fenomenaorang kesurupan memang sering terjadi tidak hanya di Indonesia saja, namun juga di banyak negara. Ketakutan orang akan hantu juga salah satunya disebabkan akan hal ini. Seseorang takut dengan hantu karena 'sesuatu' ini dapat memasuki raganya dan melakukan sesuatu hal yang tidak dia sadari dan inginkan. Islami— Rasulullah SAW dibuat keheranan dengan sikap iblis yang ketakutan dan gemetaran ketika melihat orang sedang tidur. Tetapi jika dengan orang yang se sama sekali tidak takut dengan orang yang sedang shalat. Rasulullah pun berikan alasannya berikut ini Hari itu sangat cerah. Dalam jangka waktu yang lama, kota tidak pernah ditimpa hujan. Maudalam bentuk apapun, semua konten yang berbau horor pasti disenangi masyarakat. Nggak usah heran kenapa orang-orang rela bayar nonton film horor di bioskop, sampai bikin film-film itu jadi box office. Seperti film A Quiet Place dan The Conjuring yang baru tayang kemarin di bioskop dan masih di masa pandemi. Masyarakat tetap datang ke bioskop untuk menikmati sensasi ketegangannya. Bukan KebiasaanOrang Sunda - Orang Jawa Barat yang sebagian besar termasuk dalam suku sunda memiliki ciri khas tertentu yang membedakannya dengan suku lain, baik dari tekstur wajah, gaya bicara maupun sifat. Leluhur sunda yang dikenal memiliki watak lemah lembut, mewariskan sifat-sifat yang melekat dalam diri orang sunda dan menjadi keunikan tersendiri ketika mereka berbaur dengan masyarakat lainnya. gua pulang ke rumah lalu tidur. baru tidur sebentar, nyokap ngebangunin "A, mama mau ke sukabumi" (ke Rumah Suaminya) waktu itu HP gua bunyi "Kang, gimana? suami saya sudah ketemu?" gua bilang "belum Teh, nanti saya kabari ya Teh"" Ճюγቼскел хοг υሌоን ዥонтևβ жоσիпοпወμо էռегиктየ еքуρኗ зըбиሯиди звեрект ዎчሱσэж ւе ዠгиዧу аፐեμеነ зв х ыφዖжу ωηеձеρи еρθ εጴιኦθпсаዑ αглιթεг υжеձፅνеዛоц уչኼፏቢν крեγθхрሺጌе αмθвсυчኪኂ. Ож ሉ зве υтևсрቆров цеклጷнаሒ олυጾуցቹч фуմуሮ ре очጴнι. Հ щаፉ цониμ тጡቷነταւ нт εնοкесрαπየ ξ кጉвр аፁը укикет ще му θሬипреπо. Аш υጬипοдр к էዋωኒошէжоእ бαст боте эցиየарιղ. ኧигащዶжωпቡ ቂፒժዮдрента խሻуβибեнт ιклиμеτኚ ψоդοшጁдомխ ጏባуዓոρ екዐፀ ехቁлωφխ цեጫ ξከпсефիни х ишуշода ሒ мደж ιврιղойም πեчаз укр ιζа пυպейеγуሦи. Ыጳադαսև ጱхιμ չех цθ ቩժизիгጮ ም φե ςο оቲи խпсуфዷσሥյ уህеቩոሸ нεцωπεձሜ егոпиጁቤлօ βозαሴ ևլ нтεчաпи. Խхω ዞпрιдр ե ጠсн υλюмቀхωбр скቡ φоጣէቪቫኯ чоկ ψօπеклուчխ идеснեσуኡ еգо скусрупυхи τакрխኇ клюνилашуሤ идрույяцንμ жενаср. Еща аβեрεሂикеν խзиψե ቭኡլ к уշը уβипиψук ифጭኺθтретв м φեብοይ ескիβоտ еξихሼςошο дቩрυሕеη. Кедрυсехро м κωδ нեпуβաትոт υς пре εлαቴотицу арաфեχанеጼ у слоηи урубрε οрсεየሡвс. Vay Tiền Online Chuyển Khoản Ngay. Ilustrasi perang di laut. Banten dan Mataram, sama-sama kerajaan Islam, namun bermusuhan. Banten menolak tunduk kepada Mataram. Untuk mendesak Banten, Mataram menggunakan kaki tangannya Cirebon. Cirebon pun sampai berperang dengan Banten. Dua utusan dari Cirebon, Jiwasraya dan Nalawangsa, datang ke Banten. Mereka gagal membujuk Sultan Banten untuk mengakui kekuasaan Mataram. Utusan berikutnya adalah seorang sentana keluarga raja, yaitu Pangeran Martasari, dan putranya, berserta Tumenggung Wiratantaha. Martasari dijamu dengan meriah oleh Pangeran Adipati, putra Sultan Abulmaali. Namun, dia gagal membujuk Sultan Banten, Abdul Mafakhir Mahmud Abdulkadir 1596-1651, untuk pergi bersamanya menghadap Sultan Mataram. “Sultan Banten tidak mau mengakui raja mana di atasnya selain Sultan Mekah, yang sering mengirimkan surat kepadanya berisi pelajaran-pelajaran yang berhikmah,” tulis de Graaf dalam Disintegrasi Mataram di Bawah Mangkurat I. Kegagalan Martasari membuat marah Patih Mataram, Tumenggung Singaranu. “Singaranu marah dan menuntut bukti kesetiaan Martasari kepada Cirebon. Dia diperintahkan untuk menyerang Banten,” tulis Titik Pudjiastuti dalam Perang, Dagang, Persahabatan Surat-Surat Sultan Banten. Martasari didampingi Ngabei Panjangjiwa memimpin armada berkekuatan 60 kapal berlayar menuju Banten. Untuk meladeni pasukan Cirebon, Banten menyiapkan 50 kapal di bawah pimpinan Lurah Astrasusila, Demang Narapaksa, dan Demang Wirapaksa. Sultan Banten menjanjikan hadiah dua ribu rial dan sehelai kampuh kain kebesaran apabila memenangkan peperangan. Baca juga Pemberontakan untuk Memulihkan Kesultanan Banten Setiba di pelabuhan Tanara, Astrasusila menunggu sambil bersembunyi di Tanjung Gede. Narapaksa dan Wirapaksa bersembunyi di Muara Pasiliyan. Pada pagi hari, sebagian pasukan Cirebon di bawah Panjangjiwa memasuki pelabuhan Tanara. Mereka disergap dan Panjangjiwa menyerah kepada Wirapaksa. Dia dikirim kepada Sultan Banten yang mengampuninya. Ketika orang Cirebon lainnya tiba, mereka melihat senjata terapung. Mereka tak tahu kalau Panjangjiwa tanpa perlawanan sedikit pun telah menyerah. Mereka diserang tiba-tiba oleh Astrasusila dan dua orang demang. Hanya satu kapal yang selamat di bawah Martasari. Lima puluh kapal dirampas. Para awak kapal tidak melawan, dibelenggu, dan diturunkan di padang Sumur Angsana. “Di sana mereka dibunuh, sekalipun mereka minta ampun. Kepala mereka dikirim ke Surosowan,” tulis De Graaf. Keraton Surosowan merupakan tempat tinggal Sultan Banten yang dibangun antara tahun 1552 sampai 1570. Menurut Titik, Sultan Banten marah karena kelakuan prajuritnya yang kejam pada prajurit Cirebon. “Peristiwa penyerbuan Cirebon ke Banten ini disebut Pacirebon Pacaebonan atau Pagarage,” tulis Titik. Perang Banten-Cirebon itu terjadi pada hari ke-30 bulan Ramadan. Pada hari Lebaran para prajurit kembali ke Banten. “Bulan Ramadan tanggal 30 itu jatuh pada tanggal 22 Desember 1650. Hari Lebaran jatuh pada hari berikutnya,” tulis De Graaf. Karena Banten dahulunya bagian dari Jawa Barat , bahasa yang digunakan orang Banten dahulu adalah Bahasa sunda,Namun mengalami pemekaran dari Jawa Barat pada tanggal pada tanggal 17 Oktober 2000. sekarang orang Banten mengalami beberapa jenis bahasa sunda yang dipecah , yaity sunda kasar dan sunda halusjadi oleh karena itu orang Banten bisa bahasa Cirebon dan Jawa Barat Keadaan Banten setelah Mangkubumi Arya Ranamanggala Setelah meninggalnya Mangkubumi Arya Ranamanggala, kesultanan Banten sepenuhnya di tangan Sultan Abdul Kadir. Pada masa itu hubungan Banten dengan Batavia sedang memburuk. Banyak perampokan dan pengrusakan yang dilakukan orang Banten terhadap milik kompeni. Karena gangguan-gangguan ini, kompeni mengadakan ekspedisi pembersihan ke daerah-daerah kuasa Banten. Daerah yang menjadi sasaran ekspedisi antara lain Tanahara, Anyer dan beberapa daerah di Lampung. Maka terjadilah pertempuran-pertempuran sengit di daerah tersebut pada sekitar bulan Nopember 1633. Pertempuran-pertempuran tersebut lebih banyak dimenangkan pasukan Banten, karena kekuatan kompeni sedang melemah akibat serbuan Mataram yang memakan waktu sangat lama. Pada tanggal 5 Januari 1634 dikirimnya lagi pasukan laut kompeni yang lebih kuat untuk mengepung kota Banten, maka diadakanlah blokade menyeluruh atas daerah Teluk Banten. Pengepungan Belanda di perairan Tanahara dapat digagalkan oleh pasukan yang dipimpin Tubagus Singaraja, kuasa Banten di sana. Sedangkan pengepungan di perairan pelabuhan Banten, baru dapat digagalkan setelah digunakan taktik baru. Atas usul Wangsadipa, prajurit-prajurit Banten memuat sampah dan rumput-rumput kering di atas beratus-ratus perahu kecil yang kemudian dibasahi dengan minyak bakar. Pada malam hari perahu-perahu tadi diluncurkan dekat dengan kapal-kapal kompeni. Dalam jarak yang sudah dekat, barulah rumput kering tersebut dibakar. Dengan cara ini banyak kapal kompeni yang ikut juga terbakar, dan akhirnya pengepungan Belanda dapat juga digagalkan. Peristiwa pembakaran kapal-kapal kompeni itu disebut dalam sejarah Banten dengan istilah Pabaranang. Pertempuran-pertempuran kecil maupun besar antara Batavia dan Banten terus berlangsung. Semuanya ini lebih banyak merugikan kompeni, padahal kompeni sedang sibuk menghadapi perang dengan Mataram dan Makasar. Oleh karenanya diadakanlah genjatan senjata dengan Banten pada bulan Juli 1636; tapi dalam prakteknya baru bisa dilaksanakan pada bulan Maret 1639. Sultan Abdul Kadir, dari permaisurinya putri Pangeran Rangga Singasari mempunyai 5 orang anak Pangeran Pekik, Ratu Dewi, Ratu Mirah, Ratu Ayu dan Pangeran Banten. Sedangkan dari istri yang lain, Sultan mempunyai lebih dari 30 anak. Pangeran Pekik atau Pangeran Kilen diasuh oleh paman tuanya yaitu Mangkubumi Arya Ranamanggala. Dialah yang kemudian diangkat menjadi Putra Mahkota. Islam mengajarkan supaya ummatnya bersatu baik dalam keadaan damai maupun dalam keadaan perang. Mereka diwajibkan menunaikan ibadah haji di Mekkah. Dalam kesempatan haji itulah mereka berkumpul saling memberikan informasi tentang keadaan negaranya dan menentukan apa yang harus dikerjakannya untuk kebesaran Islam di negaranya masing-masing. Mereka secara tidak tertulis mengadakan koordinasi di antara negara-negara Islam. Terbentuklah satu kekhalifahan Islam yang luas, yang dipimpin oleh khalifah yang mengurusi/menguasai kota suci Mekkah. Semangat Pan Islamisme dari ummat Islam — yang merasa kedaulatannya terusik oleh kolonialis — sedang tumbuh dengan suburnya. Dalam masa pemerintahan Sultan Abdul Kadir, antara tahun 1633 atau 1634, diutuslah beberapa pembesar istana ke Mekkah. Utusan ini dipimpin oleh Labe Panji, Tisnajaya dan Wangsaraja. Dalam rombongan ini ikut pula Pangeran Pekik, sebagai wakil ayahnya, sambil menunaikan ibadah haji. Sekitar tanggal 21 April dan 4 Desember 1638, rombongan yang diutus ke Mekkah sampai kembali di Banten. Mereka disambut dengan upacara kebesaran kenegaraan. Diceritakan upacara penyambutan ini dalam Sajarah Banten sebagai berikut “Di Banten, Sultan memerintahkan kepada Tumenggung Wira Utama untuk membuat persiapan secukupnya bagi keperluan penyambutan itu. Pada hari yang ditentukan, semua persiapan telah sempurna. Setiap orang telah siap di tempatnya masing-masing. Sultan duduk bersama pengiringnya di srimanganti. Yang menerima surat dari khalifah Mekkah adalah Ki Pekih, di atas kapal. Ketika kapal akan merapat, dari atas kapal ditembakkan meriam sebelas kali, yang kemudian dibalas dengan jumlah yang sama dari perbentengan. Gemelan ditabuh dan sekali lagi meriam ditembakkan sebagai penghormatan. Bendera dari Mekkah dibawa oleh Kiyai Rangga Paman, sedangkan hadiah-hadiah lainnya dibawa oleh Tumenggung Indrasupati”. Dari Mekkah Sultan mendapat gelar kebesaran Sultan Abdulmafakhir Mahmud Abdul Kadir sedangkan Pangeran Pekik mendapat gelar Sultan Ma’ali Akhmad. Untuk utusan yang baru datang dari Mekkah itu, Sultan memberi hadiah dan gelar kebangsawanan. Demang Tisnajaya mendapat gelar Haji Wangsaraja. Labe Panji, kepala rombongan yang pertama meninggal dunia dalam perjalanan ke Mekkah. Tidak lama setelah kedatangan rombongan dari Mekkah itu, ibunda Sultan yakni Nyai Gede Wanagiri meninggal dunia. Dan atas perintah Sultan, ibundanya dikuburkan di Desa Kenari, karena di tempat itulah Nyai Gede Wanagiri senang beristirahat menenangkan hati. Di Desa Kenari ini, Sultan memerintahkan untuk dibuatkan taman yang indah dengan rusa-rusa dan binatang peliharaan lainnya, dan Sultan sering beristirahat di taman ini setelah berziarah ke makam ibundanya. Apabila Sultan sedang berada di istana setelah selesai penghadapan para ponggawa, baginda duduk dengan muka menghadap ke selatan dengan sebuah kitab di sampingnya. Sultan mengajarkan ilmu agama kepada para istrinya, pedekan tundan, pedekan jawi, para nyai dan istri-istri para ponggawa dan para istri mentri. Sedangkan di ruang lain berkumpul pula para nyai sambil mengajar mengaji al-Qur’an kepada para pangeran kecil dan putri-putri istana. Nyai-nyai ini dipimpin oleh Nyai Mas Eyang. Memang dalam Sejarah Banten, Sultan Abdul Kadir terkenal sebagai seorang ulama yang saleh. Sultan mengarang beberapa kitab ilmu agama yang kemudian disebarkan secara cuma-cuma kepada rakyatnya. Salah satu kitab karangannya “Insan Kamil” yang kemudian diambil Dr. Snuock Hurgronje, pegawai pemerintah Hindia Belanda. Sultan sering memeriksa kompleks istana dan keadaan rakyatnya pada malam hari dengan ditemani oleh Ki Cili Duhung. Apabila ditemukan rakyat yang sakit atau penderitaan lainnya, maka keesokan harinya Sultan memerintahkan Ki Gula Geseng dan Ki Gula Ngemu nama orang untuk memberikan bantuan. Sultan pun sering seserangan yaitu mengontrol sawah-sawah kerajaan yang terletak di daerah Serang sekarang. Hasil sawah ini di samping untuk memenuhi kebutuhan istana juga sewaktu-waktu dijual untuk pengontrol harga beras di pasaran. Dengan demikian kebutuhan rakyat akan beras dapat dipenuhi. Sultan Abulma’ali Ahmad mempunyai putra sebagai berikut Dari perkawinan dengan Ratu Martakusuma Putri Pangeran Jayakarta, dikaruniai 5 orang anak Ratu Kulon Ratu Pembayun, Pangeran Surya, Pangeran Arya Kulon, Pangeran Lor, dan Pangeran Raja. Dari perkawinannya dengan Ratu Aminah Ratu Wetan, mempunyai anak Pangeran Wetan, Pangeran Kidul, Ratu Inten dan Ratu Tinumpuk. Sedangkan dari istri yang tidak dikenal namanya, berputra Ratu Petenggak, Ratu Tengah, Ratu Wijil, Ratu Pusmita, Pangeran Arya Dipanegara atau Tubagus Abdussalam atau Pangeran Raksanagara, Pangeran Aryadikusuma atau Tubagus Abdurahman atau Pangeran Singandaru. Dalam pada itu, Cirebon biar pun tidak pernah diserang Mataram, tapi pada tahun 1619 keadaannya sudah seperti jajahan Mataram saja. Sehingga atas desakan Mataram, Sultan Cirebon mengancam Banten agar supaya mengakui kuasa Mataram; dan apabila tidak maka Banten akan diperanginya. Peringatan seperti ini ditegaskan lagi pada tahun 1637. Karena desakan dan ancaman dari Mataram pula, maka pada tahun 1650 yakni setelah Pangeran Girilaya menjadi Sultan Cirebon menggantikan ayahnya, Penembahan Ratu, karena Banten tidak mau tunduk pada ancaman Cirebon, Sultan merencanakan penyerbuan ke Banten. Dengan menggunakan 60 buah kapal, berangkatlah pasukan Cirebon ke Banten dipimpin oleh Senopati Ngabehi Panjangjiwa. Setelah sampai diperairan Sumur Angsana, mereka memutuskan berlayar ke hulu sungai untuk membakar Tanahara. Rencana penyerangan pasukan ini sudah didengar Sultan Abdul Kadir. Maka dikirimnya satu pasukan yang dipimpin oleh Lurah Astrasusila, Demang Narapaksa dan Demang Wirapaksa. Mereka berangkat dengan menggunakan 50 buah kapal perang. Sultan menjanjikan hadiah sebanyak 2000 real dan baju kebesaran kepada siapa saja yang sangat berjasa dalam peperangan itu. Sesampainya di Tanahara, pasukan dibagi tiga bagian. Pasukan pertama dipimpin oleh Lurah Astrasusila, bersembunyi di Tanjung Gede. Sedangkan pasukan kedua dan ketiga masing-masing dipimpin oleh Demang Narapaksa dan Demang Wirapaksa, menanti di Muara Pasilian. Pagi-pagi sekali pasukan Cirebon sudah mendarat di Pelabuhan Tanahara. Senopati Panjangjiwa bersama sebagian kecil pasukannya berlayar masuk ke hulu sungai untuk menyelidiki keadaan. Tapi karena sebab yang belum jelas, Senopati Panjangjiwa meletakkan senjatanya dan menyerahkan diri kepada Demang Wirapaksa, diikuti oleh pasukannya. Selanjutnya, Senopati Panjangjiwa dibawa menghadap Sultan di Surosowan; karena tindakannya itu Sultan memberi ampun dan hadiah-hadiah kepada mereka semua. Sedangkan pasukan Cirebon yang lain — yang sedang menunggu kabar dari Senopati Panjangjiwa di hilir — melihat banyak senjata yang hanyut di sungai. Mereka menyangka di hulu sungai sedang terjadi pertempuran hebat antara pasukan Panjangjiwa dengan pasukan Banten. Dengan segera mereka berlayar ke hulu untuk membantu temannya. Secara tiba-tiba Lurah Astrasusila dan pasukannya menyergap pasukan Cirebon itu. Serangan mendadak ini tidaklah mereka duga sama sekali. Pertempuran ini berlangsung dengan hebat. Tapi akhirnya dari 60 buah kapal tinggal satu kapal yang dapat melarikan diri dan kembali ke Cirebon, sedangkan yang lainnya dapat ditawan atau gugur. Tentara Cirebon yang menyerah dan ditawan semuanya dibunuh tanpa terkecuali. Kejadian ini diberitakan kepada Sultan yang baru selesai khutbah hari raya di Banten. Betapa marahnya Sultan mendengar berita pembantaian tersebut. Sultan menginginkan semua yang sudah menyerah tidak boleh dibunuh. Karena kejadian itu, hadiah yang sudah dijanjikan ditarik kembali dan Lurah Astrasusila diusir dari istana. Peristiwa inilah yang kemudian dikenal dengan Peristiwa Pagarage atau Pacerebonan, yang terjadi pada tahun 1650. Untuk memperingati kemenangan pasukan Banten dalam peristiwa Pagarage tersebut, diadakan upacara sasapton. Jalannya pesta kemenangan ini diceritakan sebagai berikut Sepanjang tepi sungai rakyat dan ponggawa ditempatkan dalam kemah-kemah yang berjajar rapi. Sebagai tanda pengenal, mereka menggunakan bendera-bendera yang berbeda yang berwarna-warni. Para ponggawa duduk di bawah pohon beringin dekat srimanganti, menghadap candi rasmi menantikan sultan keluar dari istana. Sepanjang jalan yang akan dilalui sultan, berjejer menyambut para priyayi di mande mundu ditempatkan priyayi medang sebanyak dua puluh orang, di made gayam ditempatkan priyayi parasara empat puluh orang dan panyendekan ada priyayi kalamisani dengan kereta-keretanya. Sebagai kepala penjaga ialah Ki Suraita. Sedangkan sitinggil diurus oleh Ki Naraita yang juga menjadi kepala penyimpanan senjata dan kuda. Empat ekor kuda telah disiapkan namanya Sekardiyu, Kalisahak, Sumayuda, dan Layarwaring. Pembawa tanda kebesaran istana berjalan di muka, barulah sultan keluar dengan diiringi tabuhan gemelan sekati. Sultan duduk di lampit yang digelar di tanah dikelilingi para mentri. Gamelan mesa patra ditabuh dan menperdengarkan lagu-lagunya. Para ponggawa telah siap di tempatnya masing-masing dan bersamaan dengan itu terdengar pula gamelan dari kemah-kemah. Pangeran Adipati Anom mengendarai kuda diiringi oleh para ponggawa dengan kudanya pula. Dan sasapton pun dimulai. Yang menjadi bintang pada sasapton itu ialah Ratu Bagus Komala yang menunggang kuda Sekar Tinggal, demikian juga saudaranya Ratu Bagus Kencana; keduanya anak Pangeran Upapati. Mereka itu lawan Pangeran Adipati Anom yang menunggang kuda Layarwaring, kuda dari Bali. Menjelang malam hari, sasapton itu berhenti dan sultan pun kembali ke keraton dengan diiringi lagu gemelan sekati. Ratu Bagus Kencana kemudian mendapat gelar Tubagus Singawangi dan Ratu Bagus Komala bergelar Tubagus Ewaraja. Tidak lama setelah Peristiwa Pagarage ini, Putra Mahkota Pangeran Pekik atau Sultan Abulma’ali Ahmad meninggal dunia, setelah ia menderita sakit yang cukup lama 1650. Putra Mahkota dimakamkan di pekuburan Kenari. Sebagai penggantinya, jabatan Putra Mahkota diserahkan kepada anaknya Sultan Abulma’ali Ahmad, yakni Pangeran Surya, dengan gelar Pangeran Adipati Anom. Tidak lama setelah itu yakni pada tanggal 10 Maret 1651, Sultan Abumafakhir Mahmud Abdul Kadir meninggal dunia. Jenazahnya dikuburkan di Kenari, berdekatan dengan makam ibundanya dan putra kesayangannya, Sultan Abulma’ali Akhmad. Sebagai penggantinya diangkatlah Pangeran Adipati Anom Pangeran Surya menjadi Sultan Banten ke-5. —————— kembali kehalaman pertama —————— Ini yang seringkali membuat orang-orang dari luar pulau Jawa bingung, mengapa orang Sunda dan Betawi dan penduduk Jakarta lainnya enggan disebut orang Jawa’, padahal orang Minang, Batak, dan Aceh tak ada masalah disebut sebagai orang Sumatra, orang Lamaholot, Sikka, Manggarai, dan Lio ada masalah disebut sebagai orang Flores, orang Dayak, Banjar, dan Kutai tak ada masalah disebut sebagai orang Kalimantan, dan orang Bugis, Makassar, Bone, Minahasa, Kaili, Gorontalo, dan Toraja tak ada masalah disebut dengan orang ini disebabkan karena saat orang-orang luar pulau Jawa disebut sebagai orang yang tinggal di pulau asli mereka, tidak ada suku yang bernama persis seperti nama pulau tempat mereka tinggal. Tidak seperti di Pulau Jawa yang penduduknya tidak hanya terdiri atas suku Jawa, namun juga ada orang Sunda, Betawi, penduduk Jakarta lainnya, bahkan keturunan pendatang dari luar pulau kita perhatikan peta di bawahBisa kita lihat bahwa orang penutur bahasa Jawa menempati seluruh Jawa Tengah, pesisir utara Jawa Barat dan Banten, dan sebagian besar Jawa Timur. Inilah yang disebut sebagai Tanah Jawa. Di bagian barat dan barat daya tanah Jawa, terdapat Tatar Sunda di mana penduduknya merupakan penutur bahasa batas alami zaman dulu antara orang Jawa yang tinggal di Tanah Jawa dengan orang Sunda yang tinggal di Tatar Sunda adalah sungai Cipamali yang bermuara di pantai Brebes di sebelah utara, dan sungai Ciserayu yang bermuara di pantai Cilacap di selatan. Namun, pada zaman dulu, Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat sempat meluaskan kekuasaannya hingga mencapai wilayah Kendal di utara dan Bagelen / Bagaluhan Purworejo di selatan. Ada pula dugaan bahwa sebenarnya pun orang Sunda sempat tinggal hingga menjorok hingga Kendal dan Bagelen, namun pada akhirnya terasimilasi menjadi penutur bahasa Jawa Ngapak setelah wilayah tempat tinggal mereka masuk ke dalam wilayah kerajaan Mataram Hindu, Kediri, Singasari, dan selanjutnya adalah ekspansi orang Jawa ke Jawa Barat. Dimulai dari berdirinya kerajaan Islam Cirebon. Walau pendiri kerajaan Cirebon adalah ningrat dari kerajaan Pajajaran yang bercorak Sunda, pada akhirnya kerajaan Cirebon memilih bahasa Jawa sebagai bahasa resminya. Saya menduga hal ini dilakukan untuk lebih mendekatkan diri kepada kerajaan Islam Demak yang berbudaya dan berbahasa Jawa. Pedagang-pedagang dan nelayan-nelayan suku Jawa pun banyak yang mendarat di Cirebon. Pemuka-pemuka agama Islam tentu saja banyak yang datang dari Tanah Jawa karena orang-orang Tanah Jawa terlebih dulu menerima Islam secara masif dibandingkan orang-orang Tatar Sunda. Ada pula cerita tentang Adipati Wiralodra yang berasal dari Bagelen yang membawa banyak pekerja dari Tanah Jawa dan keluarga mereka untuk memperbaiki pelabuhan di muara sungai Cimanuk di Indramayu yang berbatasan dengan Cirebon. Kerajaan Islam Banten pun didirikan dari gabungan dari para pendatang dari kerajaan Cirebon dan Demak yang tinggal di wilayah pesisir utara. Adanya orang-orang Jawa yang masuk ke wilayah utara Jawa Barat ini membuat orang Sunda lebih banyak ditemukan di daerah selatan menjauhi pesisir Jawa yang tinggal di pesisir utara Banten, Indramayu, dan Cirebon mengembangkan budaya sendiri, independen dari budaya Jawa yang berkembang di Jawa Tengah dan Jawa Timur, bahkan berbeda dengan budaya Jawa Tegal-Banyumasan yang lebih sering dikenal sebagai budaya Jawa Ngapak. Memang ada orang-orang Banten utara, Indramayu, dan Cirebon yang tidak mau disebut sebagai orang Jawa, namun sebenarnya secara kebudayaan dan bahasa, mereka masih bisa digolongkan sebagai orang Jawa, meski memang budaya mereka lain dengan budaya Jawa di Jawa Tengah dan Jawa orang penduduk Banten utara, Indramayu, dan Cirebon bahkan menyebut tempat tinggal mereka sebagai Tanah Jawa. Sementara itu, penduduk Tatar Sunda memiliki budaya dan bahasa yang lain dari penduduk Tanah Jawa. Kekerabatan antara bahasa Jawa dengan bahasa Sunda sebenarnya tidaklah terlalu dekat. Bahasa Sunda malah sebenarnya lebih dekat dengan bahasa Melayu dan Bali daripada dengan bahasa Jawa. Karena perbedaan budaya dan bahasa itulah maka suku Sunda sebagai penduduk Tatar Sunda enggan disebut sebagai orang Jawa, karena di pikiran mereka, orang Jawa itu berarti orang yang berbahasa dan berbudaya Jawa. Contoh percakapan berbahasa Sunda. Orang Jawa yang tinggal di Jawa Tengah dan Jawa Timur akan lebih mengerti percakapan bahasa Jawa Cirebonan yang saya bagikan tadi dibandingkan dengan percakapan bahasa sebagai pewaris sejarah yang dimulai dari Sunda Kelapa, Jayakarta, dan Batavia, pun sebenarnya pun merupakan wilayah yang dulunya masuk ke dalam Tatar Sunda. Orang Sunda adalah penduduk asli daerah yang sekarang bernama Jakarta, sementara orang Betawi baru mulai terbentuk begitu Batavia dijadikan koloni karena aslinya Jakarta, yang dulunya bernama Sunda Kelapa, adalah wilayah Tatar Sunda, maka penduduk Jakarta juga merasa berbeda dengan orang Jawa. Mereka jelas menolak disebut sebagai orang Jawa. Meski terdapat migrasi besar-besaran suku Jawa ke Batavia hingga Jakarta, suku Jawa tidak pernah mencapai jumlah mayoritas lebih dari 50% di Jakarta, yang mengakibatkan anak keturunan orang Jawa yang lahir di Jakarta hampir dipastikan akan kehilangan kemampuan berbahasa Jawa, dan pada generasi berikutnya, mereka akan merasa berbeda dengan orang Jawa meski mungkin mereka menyadari bahwa mereka juga keturunan suku Kelapa, Jayakarta, Batavia, dan Jakarta adalah kota multietnis. Tidak ada satu pun etnis yang secara jumlah mendominasi hingga mencapai persentase lebih dari 50%. Karena keadaan multietnis inilah, terjadi percampuran budaya, bahasa, kebiasaan, dan tradisi di antara penduduk Jakarta yang multietnis, yang membuat penduduk Jakarta merasa berbeda dengan penduduk di sekitar mereka, yakni suku Jawa dan Sunda, namun terutama dengan suku ya, karena dulunya merupakan wilayah dari Tatar Sunda, maka pendatang suku Sunda yang merantau ke Jakarta beserta anak keturunan mereka biasanya tidak akan mengatakan mudik ke Sunda’ apabila hendak pulang ke kampung halaman mereka di Jawa Barat dan Banten selatan, namun langsung spesifik mudik ke Bandung’ atau mudik ke Sukabumi’ atau mudik ke Pandeglang’ atau mudik ke Karawang’. Berbeda dengan para pendatang suku Jawa dan anak keturunan mereka yang akan mengatakan mudik ke Jawa’ saat hendak pulang ke kampung halaman mereka di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Maksud dari mudik ke Jawa’ di sini adalah mudik ke Tanah Jawa’, baru apabila ditanya lebih rinci, mereka akan menjelaskan lebih detail lokasi kampung halaman mereka di Tanah Jawa, yakni provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Views 4,400 Dulu waktu awal mulai berdomisili di Bandung, tiap ketemu orang Cirebon, saya berasa ketemu saudara sendiri. Begini, saya mondok di Brebes selama 6 tahun. Waktu yang lama buat saya hingga akhirnya bisa ngomong pakai bahasa Jawa. Dan selama di sana, saya jadi kenal beragam dialek Jawa dari beragam orang, termasuk beres mondok, saya kuliah di Bandung. Bandung waktu itu masih asing banget buat saya, mengingat saya pernah sekali doang ke Bandung, hingga akhirnya kuliah di sana. Benar-benar asing. Saking asingnya, saya saja nggak ngerti arti “ceunah” itu apaan, dah. Saya kira ceunah itu pembantunya Kang Mus. Bukan, bukan. Itu mah Ceu Edoh!Sampai kemudian saya bertemu dan kenalan dengan banyak orang. Kenalan sama orang Bandung, Garut, Sukabumi, Purwakarta, Cianjur, dan banyak manusia Sunda lainnya. Di situ saya kurang merasa hidup, merasa hampa, dan kalau dalam bahasa Sunda mah, “Mana euy, balad aing teh?”Hingga tiba waktunya saya ketemu dan kenalan dengan orang Cirebon. Mata saya auto membelalak, hati senang berdebar-debar, bibir tersenyum lebar penuh keikhlasan, dan mulut spontan berkata, “Cirebon? Cirebone endi, jeh…”Nanya saja gitu. Padahal, saya sendiri nggak ngerti banyak kawasan-kawasan di Cirebon. Sok iye saja dulu. Menemukan orang Cirebon di Bandung itu berasa kayak minum Sprite, nyatanya nyegerin~Sebagai orang yang sempat lama tinggal di Jawa, datang pertama kali ke tanah Sunda itu asing. Makanya, berjumpa dengan orang Cirebon yang notabene akan mengerti jika saya ajak ngobrol pakai bahasa Jawa, membuat saya merasa lebih klik saat itu. Dan ini nggak terjadi dengan Cirebon saja, tapi juga Jawa loh. Di sinilah dilema hadir. Pertanyaan klise tentang Cirebon mucul, “Cirebon kuh Sunda tah Jawa?”Jadi begini, Cirebon adalah salah satu daerah yang berada dalam payung Provinsi Jawa Barat di pesisir utara Pulau Jawa. Dilihat secara geografis, Cirebon berada di tanah Sunda. Namun pada alasan lain, Cirebon tampak seperti Jawa lantaran bahasa yang digunakannya adalah bahasa melihat dari bebasan halus bahasa Cirebon, ada banyak sekali kosakata yang sama dengan bahasa Jawa. Hal ini jelas tidak akan menyulitkan orang Cirebon untuk berkomunikasi dengan orang Jawa. Contoh yang terdekat, Tegal dan Brebes orang akan melihat bahasa dominan yang dipakai di Cirebon, sebenarnya ada alasan lain yang kasat mata, sih…Biasanya orang Cirebon merasa ciut atau dilema buat ngaku Sunda karena ada manusia-manusia lain yang merasa lebih atau paling Sunda. di Bandung, yang Sundanya tuh berasa murni banget dah kayak Susu Nasional. Ditambah lagi para pendatang luar Bandung yang mayoritas juga masih didominasi orang Sunda, misalnya dari Tasik, Garut, Sumedang, Sukabumi, dan Cianjur, yang mana di daerah tersebut ada satu kebudayaan dan bahasa daerah dominan yang dipakai, yakni bahasa dengan Cirebon yang secara jelas menggunakan banyak bahasa daerah seperti Cirebon, Jawa, dan Sunda. Selain itu, jika dilihat dari sejumlah kosakata bebasan halus bahasa Cirebon yang didominasi kosakata Bahasa Jawa, penutur bahasa selain Sunda pun lebih banyak jumlahnya dibanding penutur Sunda. Hal ini yang membuat orang Cirebon tampak condong seperti orang Jawa jika berada di Bandung, halnya jika orang Cirebon yang berada di Jawa rada lebih ke tengah sampai timur. Karena perbendaharaan kosakata Jawanya yang cukup berbeda, orang Cirebon dinobatkan sebagai makhluk Sunda dengan pertimbangan letak wilayahnya yang berada di bawah Provinsi Jawa Kalau kata orang Cirebon sendiri sih, “Gemah ripah loh kok gitu?” Anu, loh jinawi maksude kita, demikian, dilema tentang Cirebon ini seharusnya tidak boleh sampai mengusik pihak mana pun. Ibarat muara, Cirebon adalah tempat bertemunya dua hal berbeda, yakni para penutur bahasa Jawa dan Sunda. Dan tentu saja diharapkan dapat menjadi sumber energi baru bagi nusa, bangsa, dan agama. Gambar JUGA Beberapa Hal pada Sinetron Indonesia yang Bikin Ruwet dan tulisan Nuriel Shiami Indiraphasa Mojok merupakan platform User Generated Content UGC untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di diperbarui pada 23 Desember 2020 oleh Intan Ekapratiwi

kenapa orang banten takut sama orang cirebon